Pada saat orang-orang di pelbagai penjuru dunia bangun setiap pagi untuk menyongsong hari yang baru, masing-masing dari mereka melakukannya dalam kondisi yang sangat berlainan. Sebagian hidup di rumah yang indah dan nyaman dengan sekian kamar berukuran luas, plus aneka perlengkapannya. Mereka memiliki persediaan pangan yang lebih dari cukup, pakaian yang serba bagus, kondisi kesehatan yang prima, dan kondisi keuangan yang serba berkecukupan. Sebagian lainnya, yang berjumlah lebih dari separuh penduduk dunia yang kini mencapai sekitar 6,4 miliar jiwa, nasibnya jauh kurang beruntung karena sehari-harinya harus hidup dalam kondisi serba kekurangan.
Sebagai ilustrasi, mari kita bayangkan keadaan pada sabtu malam dari kedua keluarga tersebut tatkala masing-masing tengah menyiapkan makan malam. Di rumah bertingkat (apartemen) yang mewah milik si keluarga kaya, seorang pembantu rumah tangga berseragam rapi sedang menyiapkan aneka rupa makanan di atas piring-piring mahal buatan Cina, sendok-garpu berkualitas tinggi dari perak, dan meja yang beralaskan taplak linen. Telur ikan atau kaviar kelas satu dari Rusia, hors d’oeuvres dari Perancis, dan anggur dari Italia merupakan menu pertama dari serangkaian hidangan yang akan disajikan. Anak laki-laki tertua keluarga tersebut, yang bersekolah di sebuah universitas terkemuka di Amerika Utara, dan dua orang adiknya yang masing-masing bersekolah di Perancis dan Swiss, tengah pulang berlibur di rumah. Sang ayah adalah seorang ahli bedah terkemuka lulusan Amerika Serikat yang hanya menerima orang-orang kaya setempat, usahawan, dan orang-orang terhorma dari luar negeri sebagai pasien. Sebagai usaha sampingan, ia memiliki sejumlah tanah di daerah pinggiran. Libur tahunan biasanya mereka gunakan untuk berpesiar ke luar negeri, kendaraan mereka adalah mobil-mobil impor mewah, dan mereka sekeluarga hanya mau menikmati makanan serta pakaian yang terbaik. Semua itu adalah untaian kenikmatan hidup yang sudah terhitung biasa bagi keluarga yang beruntung ini.
Lantas bagaimana dengan keluarga miskin yang hidup di pemukiman kumuh di sisi perbukitan? Mereka sekeluarga juga dapat dapat melihat laut, tetapi tidak berarti mereka juga dapat menikmati keindahan pemandangan atau ketenangan suasananya. Bau busuk dari saluran pembangunan limbah rumah tangga yang terbuka di sebelah gubuk sama sekali tidak memungkinkan mereka menikmati keindahan laut dan kesegaran terpaan anginnya. Saat makan malam tiba, tidak ada piring-piring berisi makanan yang sedang dipersiapkan; bahkan, pada kenyataannya tidak ada yang pantas disebut makan malam di situ, karena yang terlihat hanya serpihan-serpihan roti basi. Kebanyakan 4 dari anak-anak mereka memanfaatkan waktunya dengan mengemis di jalanan, menjadi tukang semir sepatu, atau bahkan kaang-kadang mencoba untuk mencuri dari orang-orang yang lengah di sepanjang jalan raya. Sang ayah pindah ke kota dari sebuah desa di daerah pedalaman beberapa tahun yang lalu, lantas disusul oleh anggota-anggota keluarga lainnya. Selama beberapa tahun terakhir ini ia tidak memiliki pekerjaan tetap. Jumlah penghasilan keluarga tersebut tidak lebih dari $800 setahun. Anak-anak mereka sering kali tidak masuk sekolah karena mereka harus membantu menambah penghasilan orang tua dengan cara apa saja yang dapat mereka lakukan. Kadang-kadang anak perempuan tertua, yang tinggal di pusa kota dengan kawan-kawannya, mempunyai uang dalam jumlah lumayan – meskipun tidak ada seorangpun yang pernah mencoba menanyakan dari mana dan bagaimana caranya ia mendapatkan uang itu.
Sebagai manusia yang punya hati nurani, kita pasti langsung gusar dan tersentuh oleh gambaran pola hidup yang demikian kontras antara kedua keluarga tersebut. Namun, kalau kita melihat keadaan di hampir semua kota besar di Amerika Latin, Asia, dan Afrika, kita akan memperoleh kekontrasan dan gambaran pahit yang sama (meskipun jurang ketidakmerataan pendapatan di masing-masing kawasan tidaklah sama).
0 comments:
Post a Comment